Soal CPNS

Tuesday, September 28, 2010

DAN KITAPUN MENJADI TUA.........

Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola
Yang tiada ujung dan tiada pangkal... .

Syair lagu diatas, sering kita dengar dari lantunannya Bimbo, liriknya
mengingatkan kita akan sebuah akhir. Kehidupan ini tidak akan berlangsung abadi, hingga suatu saat kita akan menaiki tangga usia, semakin lama usia kita bertambah, semakin berkuranglah sisa umur kita dan andai Tuhan belum memanggil kita di usia muda maka kitapun akan menjadi tua.

Melihat garis-garis di wajah sosok yang kita cintai ibu dan ayah kita,
ketika kulitnya mulai keriput, rambut hitamnya mulai memutih dan
kesehatannya kian menyusut, kita diingatkan oleh-Nya bahwa kitapun sama, suatu saat nanti akan menjadi tua, renta dan butuh begitu banyak
pertolongan, kasih sayang serta perhatian dari anak-anak kita.

Dan sekaranglah saatnya bagi kita untuk memainkan peran sebagai seorang
anak, memelihara dan menyayangi ayah dan ibu kita. Dahulu sembilan bulan kita dalam rahim ibu, kita menyusahkannya, duduk ia tak enak, berbaring tak nyaman. Tapi ibu sabar menanti hari-hari kelahiran kita. Tiba kita di dunia, ibu tersenyum bahagia mendapatkan kita sebagai anugerah dari Tuhan, disusuinya, dimanjakannya dan dibesarkannya kita dengan penuh kasih sayang.

Diajarkannya kita berbagai ilmu dan sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi kita diajarkan untuk mengenal Allah sebagai Tuhan kita.

Menginjak remaja, kita semakin menyusahkannya, biaya sekolah yang kian
besar serta kenakalan-kenakalan yang sering kita lakukan tak jarang membuat hati ibu terluka. Sikap kita yang kasar, egois dan selalu merasa benar terkadang membuatnya menangis, tapi ibu tetap sabar. Dibimbingnya kita untuk memperbaiki sikap dan tingkah laku kita, ibu selalu menanamkan cinta kepada kita anak-anaknya.

Berbahagialah bagi yang masih mempunyai ibu juga ayah, karena masih
mempunyai kesempatan untuk memelihara dan menyayangi mereka. Dan saat kita menginjak dewasa, ketika ayah yang dulu kekar sekarang sering terbaring sakit, dan ketika ibu yang dulu selalu melayani kita makan sekarang sering terbaring lemah, inilah saat-saat yang baik bagi kita untuk memuliakan mereka, melayani, memelihara dan memberikan perhatian kepada mereka. Inilah kesempatan kita untuk menjadi anak yang shaleh buat mereka bahagia di ujung usianya, dan buat mereka bangga dengan kita.

Ingatkah, dahulu ketika kebetulan kita terbangun dari tidur, terlihat ibu sedang berdoa untuk kita, agar menjadi anak yang baik dan tercapai semua cita.

Jenguklah ibu dan ayah kita selagi bisa, sebelum semuanya berakhir menjadi kenangan, bawakan oleh-oleh yang disukainya. Sebab jika mereka telah tiada maka tak akan ada lagi yang menunggu kita pulang, tak ada lagi menyiapkan kita sarapan, yang ada hanyalah rumah yang akan menjadi kenangan.

"Muliakanlah Orang tua kita karena kitapun akan menjadi tua"

Mandikan Aku Bunda!?!


Sudahkan Kita Memenuhi Tanggung Jawab Kita sebagai Seorang Ibu yang Baik bagi Anak-Anak Tercinta Kita Dirumah?

oleh: Ayah Edy, penulis buku 'Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur, 37 Kebiasaan Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak'
Dewi adalah sahabat saya, ia adalah seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not to be the best?,'' begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Kampus, mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, "Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya ?" Dengan sigap Dewi menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna". "Everything is OK !, Don't worry Everything is under control kok !" begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd. dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. "Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda". Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya dirumah apa bila ia merasa kesepian.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ''memahami'' orangtuanya.
Dengan Bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Dewi pada saya , Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya," Bunda aku ingin mandi sama bunda...please. ..please bunda", pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan aku !" Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja...?" kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, "Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di Ruang Emergency".
Dewi, ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang... terlambat sudah...Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya.. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting.
Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku. Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata "Ini Bunda Nak...., Hari ini Bunda mandikan Bayu ya...sayang. ...! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak.." . Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. . Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, "Inikan sudah takdir, ya kan..!" Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?". Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.
Sementara di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, "Inilah konsekuensi sebuah pilihan!" lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa di duga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. "Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak...? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya. Sepanjang persahabatan kami, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris "Bangunlah Bayu sayaaangku.. ..Bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak.....?!?" pintanya berulang-ulang, "Bunda mau mandikan kamu sayang.... Tolong Beri kesempatan Bunda sekali saja Nak.... Sekali ini saja, Bayu.. anakku...?" Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini...tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak.
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.

Pribadi To Do, To Have, atau To Be?


Menjalani hidup yang kian-lama kian tak terasa terlarut oleh waktu dan kesibukan kita tanpa sempat berfikir siapakah kita ini? apa yang kita lakukan? dan menjadi apa?
Perlu kiranya kita mengkaji, mungkin cerita dari teman ini dapat memberikan wacana buat pribadi kita, sebagai berikut :


"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain." (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus Bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu Melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang Bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu
tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat Dengan tali di sebuah tiang.

Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, "Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis." Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-Apa?

Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, Ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan Harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-Banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati Kehidupan. Matanya telah tertutup materi Dan lupa memandangi berbagai keindahan Dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi Hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.. Dunia senantiasa mengundang Kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-Sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa Kita untuk mengkonsumsi banyak barang.

Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah Orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering Membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, Keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri Dan rasa Kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi Pribadi yang merdeka.

Salah seorang direktur produksi membeberkan kejujuran Di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang Memburuk. "Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang Betapa banyak air Mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa Bercerita tentang kesepian batin saya...," katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri Kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin Kita Haus. Akhirnya, Kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja Dan Mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri Untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa Kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, IA sudah memiliki Semuanya. Ia ingin mesyukuri Dan memaknai semua itu dengan membuka Banyak klinik Dan posyandu di desa-desa miskin.

Fase ketiga inilah yang dinamakan memaknai hidup. Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga Seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa Untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati Pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase Kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang Kita Miliki, melainkan apa yang bisa Kita berikan bagi orang lain.

Hidup Kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa Kita bagikan Bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success To Significant mengatakan "Pertanyaan terpenting yang harus diajukan Bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?"

Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, IA menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, IA memilih Memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi Kaum papa India.

Nah, di fase manakah hidup Kita sekarang? Marilah Kita terobsesi Bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih Matang, lebih bermakna Dan berkontribusi!...

so what do u think ???...

(Fr. Mr. Ivan K)

Anda Tahu Saya Ini Siapa?"


Di masa sekarang ini seringkali kekuasaan seseorang yang sementara dijadikan sebagai alat untuk meraih keinginginan tanpa melihat hak-hak orang lain yang dilanggar, padahal kita semua tahu bahwa apa yang kita perbuat didunia akan kita pertanggung jawabkan nanti di akherat, seperti dalam tulisan teman kita ini yang bisa kita kaji, agar kita bisa lebih hati-hati dalam bertindak, berbuat dan bertingkah-laku di dunia, seperti cerita berikut ini :

— Kita tentu bersunguh-sunguh saat ada pejabat atau individu memanfaatkan ajudan-ajudannya untuk menerobos kemacetan, menutupi jalur jalan umum, meminta dispensasi, atau menyelak proses. Seketika, kita seolah-olah tidak punya hak yang sama untuk menggunakan fasilitas publik yang tersedia, harus mengalah dari orang yang punya “kuasa”.
Ini mungkin salah satu penyebab orang berlomba-lomba mengejar kekuasaan karena seakan-akan individu jadi punya “kesaktian” lebih untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Terkadang kita sendiri pun mencatut atau memakai nama atasan agar bisa mendapatkan informasi atau dukungan dari orang lain, bukan? Apakah benar yang kita amati bahwa begitu orang merasa kuat, ada kecenderungan dia “menginjak” kaki orang lain?

Saya pernah punya pengalaman berkesan saat suatu maskapai penerbangan membatalkan jadwal penerbangan. Penumpang yang ada pun kemudian berebut mendapatkan tempat di penerbangan maskapai lain. Semua orang punya kepentingan, semua orang berjuang untuk mendapatkan tempat yang terbatas. Tiba-tiba terdengar suara keras: ”Anda tahu saya ini siapa?” Semua orang pun menoleh mencari sumber suara tersebut sambil memasang muka bertanya-tanya, mengekspresikan ketidaktahuan. Ada seseorang di belakang, berbisik: ”Mungkin saja dia ngetop di TV atau di kantornya, tetapi di bandara tetap tidakngetop”.
Dalam situasi itu, petugas tiba-tiba menyodorkan boarding pass kepada seorang ibu yang membawa bayi dan neneknya. “Ini sudah prosedur kami, Pak,” ujar petugas tersebut menjawab komplain penguasa yang ingin didahulukan. Pada situasi seperti ini, petugas maskapailah yang paling berkuasa.
Ternyata dalam beberapa situasi, dengan uang sebanyak apa pun atau pangkat sebesar apa pun, individu tidak selalu mampu berbuat apa-apa. Pangkat, jabatan, dan wewenang memang salah satu sumber power bagi individu. Namun, kita bisa menilai sendiri, apakah pemanfaatan power yang berasal dari otoritas dan legitimasi ini bisa efektif setiap waktu? Bagaimana bila power itu dicopot dan terlepas dari individu? Bagaimana nasib tim yang dipimpin “tangan besi” ini sesudah si penguasa pergi?

Mengundang kemurahan hati
Seorang atasan memang memungkinkan dirinya memaksa bawahannya melakukan sesuatu, misalnya lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Meskipun si bawahan bisa saja tetap terlihat melakukan tugasnya, kita tidak tahu apakah ia menjalankan dengan keterlibatan 100 persen, 70 persen, atau hanya di bibir. Banyak sekali orang berduit yang juga merasa bisa “membeli kepala” orang lain, baik itu pegawai, vendor, maupun pemberi jasa. Dalam situasi ini pun, kita bertanya-tanya, apakah dengan keadaan setengah terpaksa, individu akan memberikan servis sepenuh hati kepada orang-orang yang "berkuasa" ini?
Kenyataannya, di dunia ini setiap individu punya pilihan. Pelanggan bisa lari ke toko sebelah, vendor bisa mengundurkan diri, karyawan bisa resign sesuai kemauannya, teman karib bisa ingkar, dan anggota tim pun bisa memisahkan diri.

Jim Collins, guru manajemen, dalam bukunya: Good to Great, mengungkapkan karakter model kepemimpinan baru yang ia sebut dengan the fifth-level leadership. Ia mengungkapkan, pada level tertinggi ini kepemimpinan didominasi oleh kerendahan hati dan kemauan keras. “...The CEOs of these remarkable companies were not aggressive, not self promoting, and not self congratulatory. This relatively unique class of leader possesses the ability to build enduring greatness through a paradoxical combination of personal humility plus professional will”.
Pemimpin tidak menggunakan kekuasaan secara otoriter, tetapi mengajak dan meminta dukungan partisipatif dari anggota tim. Kita bisa menyaksikan dalam berbagai situasi sulit, banyak individu atau anggota kelompok, yang dengan rela mengorbankan waktu dan spiritnya demi tercapainya tujuan dengan penuh kerelaan hati tanpa tekanan. “Saya lembur karena kita memang harus mengejar deadline. Bukan semata karena disuruh atasan. Keluarga memang dikorbankan, tetapi ini tidak terjadi setiap hari, kok,” demikian ungkap seorang karyawan. Bukankah situasi kepemimpinan seperti ini lebih indah dan menyenangkan daripada situasi penuh penekanan?

Apa pun posisi kita, sekalipun kita berada dalam situasi memberi nafkah, kita bisa belajar untuk mengundang kemurahan hati orang lain. Kita sebenarnya bisa mengganti mindset dengan berpikir bahwa kita sedang dikelilingi para volunteer. Kita bisa berlatih lebih banyak membuat request daripada memerintah. Kita perlu meyakini bahwa membangun hubungan penuh rasa percaya lebih powerful daripada membuat hierarki dan struktur politik. Secara otomatis, kerendahan hati justru menciptakan power dalam bentuk lain.

“Power” bisa mengembangkan jiwa
Tak jarang kita mendengar sikap pesimistis dan ungkapan tidak berdaya, misalnya “Kita belum merespons penawaran Anda karena atasan belum membacanya”, atau “Kalau formulir tidak lengkap, kita tidak bisa proses”.
Dengan pemahaman bahwa kuasa tidak selamanya identik dengan otoritas dan tekanan, kita sebetulnya akan bisa mengembangkan power-power baru dan menghindari sikap helplessness. Power modern bisa kita tumbuhkan dari kekuatan menjangkau informasi, kekuatan interpersonal, serta kekuatan menghantarkan jasa dan produk yang berkualitas. Bukankah kita percaya bahwa hubungan baik dan trust dari rekan kerja, bawahan, dan klien akan menumbuhkan spirit tim yang tidak terharga nilainya dan begitu besar kekuatannya. Ini semua tentu saja akan membuat kita bisa menumbuhkan rasa aman, kepercayaan diri, sekaligus memperkaya jiwa.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)